Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Keagamaan 1

Sabtu, 18 Maret 2000Pendidikan Satu Atap

Oleh Masykuri Abdillah & Mastuki HS
GAGASAN tentang pendidikan nasional di bawah satu atap, yang berarti penghilangan "dualisme" penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti praktik selama ini, sebenarnya bukan suatu hal baru. Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983) pernah mengemukakan gagasan ini, yang berarti bahwa semua lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemimpin dan organisasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekuralisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Di samping itu, umat Islam, yang pada waktu itu termarjinalisasi secara politis, berpikir bahwa keberadaan pendidikan keagamaan bukan hanya sekadar bentuk kelembagaan, tetapi juga merupakan simbolisme politik Islam di Indonesia.
Selang 20 tahun kemudian gagasan itu kembali muncul, yang dikemukakan oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Memang Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan perlunya pendidikan nasional dalam satu atap, namun kebijakannya tentang perubahan nama Depdikbud menjadi Depdiknas dapat menjadi indikasi ke arah penyatuatapan ini. Kali ini gagasan penyatuan pendidikan nasional ini disambut biasa-biasa saja, dalam arti tidak ada penolakan keras maupun penerimaan dengan penuh kegembiraan. Tiadanya penolakan ini bisa jadi karena Mendiknas Dr Yahya Muhaimin, dan Menag KH Tolchah Hasan adalah sama-sama berasal dari organisasi Islam besar (Muhammadiyah dan NU), sehingga para tokoh Islam tidak khawatir akan munculnya sekularisasi pendidikan. Di samping itu, umat Islam kini sudah berada dalam center of power, sehingga pendidikan keagamaan di bawah Depag bukan merupakan satu-satunya ekspresi simbolisme politik Islam.
Pada dataran fisolofis, gagasan dasar Gus Dur dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan paradigmatis yang selama ini dirasa menggelayuti sistem pendidikan nasional. Diterimanya prinsip "dualisme-dikotomik" yang memisahkan dan membedakan "ilmu agama" dan "ilmu umum", sebagian diakibatkan oleh dualisme penyelenggaraan pendidikan ini. Dualisme ini bahkan membawa ekses munculnya persepsi bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan pada dataran praksis, hal ini telah melahirkan penyelenggaraan pendidikan yang "tidak adil" antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan. Sebagai contoh, indeks biaya pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibanding di sekolah umum, meski sejak awal tahun 1990-an telah terjadi kenaikan secara bertahap. Pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per siswa MIN (Ibtidaiyah) adalah Rp 19.000,- sedangkan SDN Rp 100.000,- (1:5,2), MTsN (Tsanawiyah) Rp 33.000,- sedangkan SMPN Rp 46.000,- (1:1,4), sedangkan SMUN Rp 67.000,- (1:1,3), dan IAIN Rp 50.000,- sedangkan UN/Institut Negeri Rp 150.000,- (1:3). Perbedaan ini akan sangat timpang jika perhitungan indeks biaya ini mengikutsertakan juga madrasah/sekolah swasta, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta dan umumnya di bawah standar. Hal semacam ini ternyata masih terjadi sampai kini (tahun anggaran 2000), meski sudah ada political will presiden, yang notabene berlatar pendidikan keagamaan, untuk mewujudkan kesetaraan di antara keduanya.
Perbedaan tersebut tentu berakibat pada tingkat kualitas pendidikan keagamaan yang secara umum di bawah pendidikan umum. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan keagamaan (madrasah dan perguruan tinggi agama), serta upaya-upaya untuk mengatasinya, termasuk gagasan penyatuatapan semua pendidikan di bawah sistem pendidikan nasional. Hanya bahasan ini lebih difokuskan pada pendidikan keagamaan Islam tingkat dasar dan menengah (madrasah), yang jumlah siswanya mencapai 15 persen dari keseluruhan jumlah siswa tetapi sampai kini masih menghadapi sejumlah permasalahan yang serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar