Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Informal 3

Pendidikan Bukan Hanya di Sekolah

>> 05 Maret 2009
Mendengar kata sekolah, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu umumnya memang ditujukan pada suatu sistem atau lembaga dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan dan sebagainya.
Padahal dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, atau schola (latin), kata itu secara harfiyah berarti waktu luang atau waktu senggang. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada bapak bangsa Inggris yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam asal mula bahasa kita sekarang?
Ukuran dan jenis sekolah bervariasi tergantung dari sumber daya dan tujuan penyelenggara sekolah. Sebuah sekolah mungkin sangat sederhana dimana sebuah lokasi tempat bertemu seorang pengajar dan beberapa peserta didik, atau mungkin, sebuah kompleks bangunan besar dengan ratusan ruang dengan puluhan ribu tenaga kependidikan dan peserta didiknya.
Ada hal menarik dalam Al-Quran, yaitu bahwa qadla (keputusan atau dekrit) Tuhan tentang kewajiban manusia menghormati ibu bapaknya diberikan sebagai persoalan kedua setelah kewajiban bertauhid atau tidak menyembah sesuatu apapun selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan itu juga diikuti dengan pesan-pesan agar manusia jangan sampai berucap kasar pada ibu bapaknya itu, jika salah seorang atau kedua-duanya telah mencapai usia lanjut, maka hendaknya kita bersikap lemah lembut, penuh kasih sayang sebagaimana mereka telah mendidik kita sewaktu kecil.
Namun bila kedua orang itu memaksakan sesuatu yang tidak dapat diterima kebenarannya, misalnya, sikap mempersekutukan Tuhan atau syirik, maka mereka tidak boleh ditaati. Akan tetapi, masih kewajiban kepada kita untuk berbuat baik kepada mereka.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa peran orang tua menjadi tak tergantikan oleh siapapun juga. Hal ini tidak hanya berlaku bagi muslim tetapi juga bagi kaum kristiani yang dalam banyak hal memiliki banyak persamaan ajaran atau doktrin sepanjang menyangkut peran orang tua.
Peran strategis orang tua itu tidak saja bermakna bagi anaknya. Posisi orang tua yang demikian itu juga memberikan tanggung jawab atau beban dalam hal mendidik anaknya. Jadi, peran pendidikan punya sangkutan dengan kesediaan belajar. Orang tua atau siapa saja akan mampu menjalankan tugas dengan baik kalau punya pengetahuan yang memberinya deretan pilihan atau alternatif. Maka dari itu orang tualah yang paling mempengaruhi pendidikan anaknya, karena dasar pendidikan itu adalah mengetahui karakter si anak tersebut. Lalu bisakah seorang anak dipasrahkan kepada orang lain yang tidak mengetahui karakter si anak didik tersebut? Apalagi pendidik pengganti (baca: guru) tersebut acuh terhadap anak didiknya yang lebih mementingkan gaji yang bersifat individual.
Mayarakat sekarang agaknya sudah salah persepsi, mereka lebih berpendapat bahwa sekolahlah yang mendidik para pelajar. Padahal sekolah hanyalah sebuah lembaga yang termanajemen saja. Jadi jelas bahwa bukanlah sekolah yang mendidik melainkan para pendidik atau guru yang berikatan bersama dengan sekolah. Pendidik –katakanlah guru­­­­­–– adalah figur utama bagi para pelajar sebagai pendidik pengganti dari orang tua. Dan dalam hal mendidik anak didik itu tidak harus selalu memakai seragam, sepatu dan duduk di bangku sekolah (formal). Para pendidik bisa saja memberikan pendidikan yang berarti di luar sekolah entah itu di taman, lapangan, rumah, bahkan taman hiburan (informal). Jadi untuk mendapatkan pendidikan, kita jangan terpaku pada sekolah. Sebaliknya, kita harus mandiri untuk menjadi orang yang kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar