Rabu, 15 April 2009

pendidikan dasar (5)

Sekilas - Pendidikan Dasar Untuk Semua
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.



Mendiknas: Pendidikan Dasar Gratis Bisa Dilaksanakan


18-02-2009
SEMARANG--MI: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan pendidikan dasar gratis dapat dilaksanakan karena telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20/2003.
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, karena program wajib belajar merupakan tanggung jawab negara, kata Mendiknas. Namun, kata Mendiknas, penyelenggaraan pendidikan dasar gratis perlu diberi batasan yang jelas disesuaikan dengan APBD masing-masing daerah.

"Beberapa daerah juga telah melaksanakan pendidikan gratis, antara lain Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta," katanya di Semarang, Selasa (17/2).

DKI Jakarta, kata Mendiknas, memang masih membatasi pendidikan gratis untuk sekolah negeri, tetapi di Jawa Barat dan Kalimantan Timur sudah melaksanakannya untuk sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, kata Mendiknas, biaya operasional sekolah (BOS), termasuk BOS buku, per siswa/tahun mengalami peningkatan secara signifikan mulai bulan Januari 2009. "SD di kota mendapatkan Rp400.000, SD di kabupaten mendapat Rp397.000, SMP di kota Rp575.000, dan Rp570.000 untuk SMP di kabupaten," katanya.

Dengan adanya kenaikan BOS, lanjutnya, maka semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali untuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Ia menjelaskan, pemda juga wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin terbebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebih terhadap siswa yang mampu.

Pemda, kata Mendiknas, juga wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009, memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran dan memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD apabila BOS dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) belum mencukupi. "Tetapi, sumbangan suka rela dan tidak mengikat kepada sekolah tetap perlu dihidupkan untuk menunjang kegiatan pendidikan," kata Mendiknas. (Ant/OL-06)




Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia
/
Kamis, 24 Juli 2008 | 22:44 WIB
JAKARTA, KAMIS - Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.
Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.


Sekolah Dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah Dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Saat ini murid Kelas 6 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat).
Pelajar Sekolah Dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah Dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Dasar Negeri berada di bawah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan di kecamatan.




Anak Tak Enyam Pendidikan Dasar
By admin | April 5, 2008 | 0 Kali di baca
Fokus ke Kantong Keluarga Miskin
RADAR JOGJA - Kepala Dinas Pendidikan DIJ Prof Suwarsih Madya PhD mengakui, pendidikan di DIJ saat ini belum merata. Ada beberapa kantong keluarga miskin yang belum terjamah program wajib belajar, baik sembilan tahun maupun 12 tahun. Itu terbukti dengan masih adanya sekitar 5.151 anak miskin yang belum mengenyam pendidikan dasar.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Misalnya, mereka tidak memiliki beaya untuk sekolah dan budaya orang tua yang mendiskreditkan pendidikan. Keduanya harus diatasi dengan pendekatan berbeda,” ujar Suwarsih, menanggapi kritikan gubernur DIJ akan ketidakmerataan pendidikan di wilayahnya kemarin.

Mereka yang tak bisa menikmati bangku sekolah karena miskin, menurut Suwarsih, bisa diatasi dengan beasiswa. Misalnya, melalui program retrieval. Hanya, kemungkinan pemberian beasiswa belum merata sehingga ada warga miskin yang tidak kebagian.
“Untuk itu, dalam waktu dekat saya akan meminta kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota untuk fokus terhadap kantong keluarga miskin. Warga miskin harus didekati dengan pendekatan khusus. Ubah paradigma berpikir yang mengatakan banyak lulusan sekolah yang juga menjadi pengangguran. Itu salah satu pemikiran warga miskin yang menafikan arti penting pendidikan,” tegas guru besar UNY ini.
Ditegaskan mantan diplomat ini, tingginya anak putus sekolah tidak hanya karena faktor kemiskinan. Tapi juga budaya. Ada keluarga kaya tapi tidak ingin anaknya sekolah. Sebab menurut mereka sekolah itu tidak penting.
“Yang penting ya bekerja dan cari uang yang banyak. Mereka tidak mengetahui bahwa pendidikan juga bermanfaat untuk membentuk pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, mandiri, dan beradab,” tambahnya.
Angka partisipasi kasar (APK) SD/MI DIJ mencapai 109 persen. Tetapi masih ada sekitar 5.000 anak miskin yang tidak sekolah di SD. “Memang saatnya APK tidak menjadi satu-satunya acuan bahwa pendidikan telah merata. Perlu ada indikator yang lain,” tutur Suwarsih.






Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar