Senin, 25 Mei 2009

pendidikan menengah

PENDIDIKAN MENENGAH

1. Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.


Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?.
Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.


2. Mengapa SMA dan SMK tidak digabung sebagai Pendidikan Menengah Umum?

Mengapa SMA dan SMK tidak digabung sebagai Pendidikan Menengah Umum?

'Kurikulum seperti apa kalau hanya satu jenis Pendidikan Atas Umum'? (pertanyaan dari lapangan)

'Kurukulum seperti' dulu tanpa 'Kelas dan Stigma'.

'Jenis Pendidikan' namanya 'adil', di mana semua anak-anak mempunyai kesempatan dan pilihan yang sama 'tanpa stigma', untuk memaximalkan kemampuan mereka.

Kita punya dua sistem Pendidikan Menengah:
SMA - Yang Merugikan 70% Siswa-Siswinya
SMK - Yang Diangap Pendidikan Tukang dan dapat Membatasi Aspirasi Siswa-Siswi Kita.
http://pendidikan.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=22&artid=147

Lagu tersayang kami adalah Iwan Fals 'Jangan Bicara'

Tetapi yang lucu dan ironis sistem SMU lengkap dengan keterampilan dulu (pre 1994 OB) memang adalah lebih adil (walapun kebanyakan isu-isu yang lain tidak).

Keadaan di lapangangan memang begini, dan kesempatan kerja memang sulit, dan jenis sekolah tidak akan merubah ini. Hanya pemerintah yang bermutu dengan visi dapat merubah keadaan di lapangan. Tetapi yang penting adalah kita berjuang supaya SDM yang paling baik di negera kita mendapat kesempatan untuk berkembang.

Dengan dua sistem banyak anak dikatagorize yang sangat dapat membatasi aspirasi mereka. Seperti dari pengalaman kami di lapangan, dan dari saran-saran anggota kami banyak anak-anak di SMK juga dapat atau mampu lanjuk ke perguruan tinggi. Mengapa tidak memudahkan proses ini?

DikMenUm - Terus mengurus dan meningkatkan Mutu Pendidikan Akademik
DikMenJur - Tetap mengurus dan meningkatkan Mutu Pendidikan Kejuruan dan Magang

Keterampilan adalah sesuatu yang sangat menguntungkan semua pelajar 'selama hidup' dan mempunyai potensial untuk meningkatkan mutu dan kemampuan mandiri lulusan dari perguruan tinggi juga.

Bagaimana kemandirian lulusan PT sekarang? Mengapa banyak menganggur?

Ref: http://pendidikan.net/jurnalpendidikan.html#akhirnya

Salam Pendidikan

Phillip Rekdale
Education Network: http://Pendidikan.Net
Education Technology: http://E-Pendidikan.Com
Indo Education News: http://BeritaPendidikan.Com


3. SMU : SMA : SMK : Ke Mana Pendidikan Menengah Kita?

Kalo Boleh share nih..

Sy Lulus dari jalur polytechnic yg hampir 75% kuliah yg diberikan adalah ketrampilan or skill.. dan memang dengan bekal ketrampilan di Indonesia memang cepat menyerap tenaga kerja selain murah (karena pendidikan yg cuma D3 mungkin) jg karena mempunyai skill yg lebih
jika dibandingkan dengan lulusan S1, tetapi utk tingkat karir perusahaan selau memperhatikan tingkat pendidikan yg lebih tinggi yaitu S1, karena itu lah kemudian sy melanjutkan kuliah di S1, dan setelah lulus dari S1 ini karir sy Puji Tuhan lebih bagus karena dapat penghasilan yg tinggi.

Saat ini sy bekerja di salah satu vendor Telekomunikasi di Indonesia sebagai Engineer, sy merasa pengetahuan sy lebih di hargai baik oleh perusahaan vendor (orang asing) maupun operator (dalam negeri), bahkan banyak perusahaan yg menawari sy utk bergabung dengan tawaran yg cukup bagus bagi sy.

Yang ingin sy sampaikan adalah pendidikan ketrampilan memang diperlukan, tetapi jangan lupa INDONESIA juga
perlu orang2 yg kreatif yg punya daya cipta, kemampuan utk mengcreate dan bukan hanya use it. Sy bermimpi seandainya banyak pencipta2 lahir di negeri ini pasti negeri ini ga miskin seperti sekarang..

Buat anda yg berprofesi sebagai guru.. nasib INDONESIA berada ditangan anda.. buatlah anak didik anda menciptakan sesuatu motivasilah mereka.. dan jangan lupa publikasikan.. agar lebih di hargai.. walaupun mungkin kecil sekali..

Jadi memperbanyak SMK bagus.. tetapi jangan lupa membuat SMA yg berkualitas mencipta.. sehingga kita bukan cuma jadi bangsa ini bisa maju..

Semoga pendidikan Indonesia lebih maju di masa yg akan datang..

Amien


Sumber: R Ramsesdbu (r_ramsesdbu@yahoo.com)


4. Malaysia Gratiskan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah

Negara tetangga Malaysia pada tahun 2008 ini, telah menggratiskan biaya pendidikan untuk sekolah dasar hingga menengah.

"Kebijakan Pemerintah Malaysia menyelenggarakan pendidikan gratis dari sekolah rendah hingga menengah, sudah lama direncanakan sejak beberapa tahun lalu," kata Direktur Promosi Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia, Darsam Daud, di Bandarlampung, Kamis (24/7).

Ia menyebutkan, dengan keputusan menggratiskan biaya pendidikan dasar dan menengah itu, maka tidak ada alasan lagi bagi anak usia sekolah terutama bagi kaum miskin di Malaysia tidak bersekolah.

Menurut dia, meski pada awal pendaftaran orangtua murid berdasarkan kesepakatan dengan guru membayar sekitar Rp250 ribu per tahun jika dirupiahkan, namun hingga setahun pendidikan tidak dipungut biaya apapun termasuk membeli buku teks pelajaran.

"Buku teks dipinjamkan dalam setahun oleh sekolah untuk semua murid, tetapi jika ada orangtua murid yang ingin membeli buku pelajaran itu dipersilakan," kata dia lagi.

Uang Rp250 ribu, ujar dia, dipergunakan untuk melaksanakan kurikulum dan kegiatan ekstrakurikuler.

Pendidikan dasar di negeri jiran itu selama enam tahun, sedangkan pendidikan menengah selama lima tahun yang terdiri atas tiga tahun menengah rendah, dan dua tahun menengah atas.

"Secara total 11 tahun pendidikan adalah bebas biaya," kata dia menambahkan pula.

Usia untuk masuk pendidikan dasar adalah tujuh tahun. Pendidikan dasar diwajibkan untuk semua anak-anak yang berumur antara tujuh sampai 12 tahun.

Ia menyebutkan pula, para pelajar diwajibkan mengikuti ujian negara pada tahun terakhir pendidikan dasar, menengah rendah, dan menengah tinggi.

"Anggaran pendidikan di Malaysia sekitar 30 persen dari anggaran pendapatan negara, sehingga dapat menggratiskan biaya pendidikan dasar dan menengah," kata dia tanpa menyebutkan berapa besar pendapatan negara Malaysia itu. (Ant/OL-02)

Sumber : Media Indonesia,


5.OpenSource, Dalam Kurikulum Pendidikan Menengah Berbasis Kompetensi

Perkembangan kurikulum pendidikan menengah sebagai respon terhadap tuntutan perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tuntutan desentralisasi, dan hak asasi manusia menyebabkan adanya penyesuaian bahan kajian yang harus dikuasi oleh siswa. Dengan demikian, siswa memiliki bekal berupa potensi untuk belajar sepanjang hayat serta mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Salah satu fasilitas untuk menunjang kompetensi tersebut siswa perlu dikenalkan dengan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT) yang berfungsi sebagai bahan maupun alat pembelajaran.

Paragraf diatas merupakan sedikit pendahuluan dari dokumen final mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi yang bisa didownload dari www.puskur.or.id . Pada kenyataannya ternyata banyak sekali sekolah (SMP/Madrasah Tsanawiyah, SMU/Madrasah Aliyah) yang kesulitan untuk mengaplikasikan kurikulum kompetensi tersebut dikarenakan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sarana dan prasarananya.

Memang didalam kurikulum tersebut tidak mengharuskan sekolah untuk menggunakan aplikasi software tertentu yang digunakan, namun bila dilihat dari penjabarannya terlihat sedikit “Microsoft minded”. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya sekolah-sekolah yang menggunakan aplikasi microsoft (windows, office) dalam materi pembelajarannya. Seperti kita telah ketahui bersama bahwa penggunaan software komersial secara tidak legal (baca:membeli) akan menjadi masalah dikemudian hari apalagi dengan telah ditetapkannya UU HAKI. Sedangkan untuk membeli software ASLI, tidak semua sekolah mempunyai kemampuan keuangan yang sama. Mungkin hanya sekolah-sekolah besar saja yang bisa membelinya.

Melihat kondisi diatas, maka software Opensource bisa menjadi sebuah solusi. Mulai dari yang bersifat efisiensi biaya pengadaan hardware hingga efisiensi biaya pengadaan software yang semuanya bisa didapatkan dengan gratis. Software Opensource yang tersedia pada saat ini sangat banyak sekali.

Efisiensi Pengadaan Hardware

Dalam rangka menghemat biaya pengadaan hardware, Opensource mengenal sistem diskless workstation (LTSP – Linux Terminal Server Project). Diskless workstation merupakan penggunaan komputer oleh dua atau lebih tanpa adanya suatu media penyimpanan (harddisk) pada komputer client. Untuk proses booting hanya dibutuhkan 1 disket saja untuk meload boot image, setelah itu client menghubungi server untuk proses selanjutnya.

Kebutuhan minimum untuk client LTSP adalah komputer kelas 486 / pentium I. Sedangkan untuk server bisa menggunakan processor terbaik saat ini dengan RAM minimum 512 (mampu untuk 10 client) untuk bisa menjalankan aplikasi OpenOffice. Untuk kebutuhan RAM berbanding lurus dengan jumlah client. Sebagai perbandingan, kami menggunakan P4 2,4 GHz dengan RAM 1 GB untuk meng-handle kurang lebih 22 client. Informasi mengenai LTSP bisa dilihat di http://www.ltsp.org atau http://www.ltsp.or.id .

Efisiensi Pengadaan Software

Untuk menghembat biaya pengadaan software, opensource banyak menawarkan solusi alternatif. Dimana solusi alternatifnya pun bebas biaya alias gratis, sehingga tidak akan melanggar UU HAKI yang telah diterapkan di Indonesia. Selain gratis, software opensource juga mempersilahkan kita untuk melakukan modifikasi karena source codenya disertakan dalam setiap distribusinya. Selain itu banyaknya forum yang bisa kita gunakan untuk mencari sebuah solusi apabila kita menghadapi permasalahan dalam penggunaannya. Berbeda dengan software komersial yang sifatnya closed source.

Berikut ini beberapa software opensource yang bisa digunakan dalam penerapan kurikulum kompetensi:
- Sistem Operasi : Linux (redhat, mandrakee, suse, dll) atau FreeBSD
- Pengolah kata : OpenOffice Writer
- Lembar kerja (worksheet) : OpenOffice Caalc
- Presentasi : OpenOffice Impress
- Grafis : GIMP
- Bahasa Pemrograman : PHP, Perl, C
- Web Browser : Mozilla, Konqueror, Netscaape
- Pembuatan Homepage : Qanta, Bluefish
Untuk lebih lengkap mengenai daftar software alternatif ini bisa dilihat di http://linuxshop.ru/linuxbegin/win-lin-soft-en/table.shtml

Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa software Open Source menawarkan sebuah solusi yang cukup ekonomis. Seperti juga hal yang lain, konsep diatas juga mempunyai kelemahan. Yaitu kurangnya SDM yang menguasai software Open Source sehingga sekolah-sekolah pun sedikit kesulitan mencari tenaga pengajar, karena biasanya sudah terbiasa dengan software microsoft. Tetapi itu bukan hambatan yang berarti apabila kita mau belajar dan terus belajar untuk berusaha untuk menggunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar