Senin, 25 Mei 2009

pendidikan khusus

PENDIDIKAN KHUSUS

1. Tiongkok Percepat Pengembangan Pendidikan Khusus
Kantor Berita Xinhua

Menurut laporan Kantor Berita Xinhua, kantor Dewan Negara dalam pemberithaunnya baru-baru ini menunjukkan, dewasa ini dan pada masa mendatang, Tiongkok akan mempercepat lebih lanjut pengembangan usaha pendidikan khusus dengan mengambil langkah konkret.

Menurut pemberitahuan tersebut, Tiongkok melaksanakan pendidikan wajib gratis untuk pelajar cacat, meningkatkan pembangunan sekolah pendidikan khusus, menyediakan bantuan dana kepada pelajar cacat pada periode pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, meningkatkan alokasi dana, dalam rangka menjamin sekolah pendidikan khusus beroprasi secara normal, memberantas buta huruf orang amgkatan muda yang cacat.

Pemberitahuan menyatakan, keuangan pusat akan terus mendirikan dana bantuan khusus untuk pendidikan khsuus. Pemerintah berbagai tingkat daerah perlu menambah dana bantuan khusus untuk pendidikan khusus, meningkatkan pendidikan sesuai dengan kepribadian mental dan kebutuhan khusus pelajar penyandang cacat, mengembangkan sepenuhnya pendidikan vokasional dan mendorong penempatan tenaga kerja penyandang cacat.
© China Radio International.CRI.


2. Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004


3. SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.


4. Kurikulum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Kompleks

Jakarta, Kompas - Begitu standar isi dan standar kompetensi dikembangkan dalam kurikulum baru kelak, serta-merta terbentang berlapis tantangan di depan para pemangku kepentingan pendidikan. Sesuai tuntutan peningkatan mutu pendidikan, implikasi pengembangan kurikulum tersebut harus dibarengi pemenuhan komponen pendukung yang terstandar pula, mencakup infrastruktur persekolahan, pendidik, hingga proses.
Kalau selama ini jenjang dan satuan pendidikan untuk peserta didik yang normal saja belum semuanya terpenuhi secara terstandar, maka tantangan untuk pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus jauh lebih kompleks lagi, ujar Fauzia Aswin Hadis, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, di Jakarta.
Fauzia menguraikan, sasaran pendidikan khususselama ini disebut pendidikan luar biasa tak hanya anak-anak cacat, tetapi juga anak-anak jenius atau berpotensi akademik istimewa. Karena itu, perlu perhatian ekstra untuk menanganinya.
Ia menegaskan, langkah awal strategis adalah mengembangkan paradigma baru sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Terminologi pendidikan luar biasa harus diganti jadi pendidikan khusus. Standar isi, standar kompetensi, dan standar-standar pendukung lainnya pun perlu disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Ia mencontohkan, terhadap anak yang memiliki keterbatasan fisik—seperti kelemahan indera pendengaran, penglihatan, dan kekurangan anggota tubuh— tetap perlu diberi muatan akademis yang memungkinkan mereka berinklusi dengan peserta didik yang normal.
Secara umum, bekal kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi muatan kejuruan, agar kelak bisa memiliki kecakapan hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso berkomentar, untuk menuju paradigma baru, implikasi kurikulum di pendidikan khusus tak hanya cukup tertuang dalam standar-standar rumusan BSNP.
Itu semua harus dikuatkan pada rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam konteks pemerataan akses-mutu pendidikan serta kemandirian lulusan, ujarnya.



5. Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani

BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.
Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, . SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.
Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.
Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.
Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.
Guru terbatas
Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.
Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar