Senin, 25 Mei 2009

pendidikan dasar

Tidak Gratis, Kena Sanksi
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Soedibyo menyatakan, bupati berhak memberikan sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan dasar (dikdas) secara gratis.
"Sanksi bagi sekolah yang tidak memberikan pendidikan gratis tergantung pada Bupati," kata Mendiknas kepada wartawan seusai Sosialisasi Wajar Dikdas Gratis 9 Tahun dan PP No 74 Tahun 2008 Tentang Guru, di Pendapa Sipanji Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Menurut dia, sanksi tersebut harus jelas dan dipertegas dengan peraturan daerah (perda) dikdas gratis yang dibuat masing-masing kabupaten/kota.
Disinggung mengenai masih banyaknya daerah yang belum membuat perda dikdas gratis, dia mengatakan, tanpa perda sebenarnya pendidikan gratis sudah berjalan dan dilaksanakan kepala sekolah. "Tetapi dengan perda, akan jelas mana yang boleh dan mana yang tidak," katanya.
Dengan demikian, keberadaan perda menjadi dasar aturan yang jelas kalau ada sekolah yang dikenai sanksi atau diproses oleh inspektorat jenderal atau diperiksa polisi.
Sebelumnya, saat menghadiri acara yang sama di Pendapa Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah,, Mendiknas mengatakan, pemerintah kabupaten/kota harus mempertegas peraturan daerah (perda) yang mengatur pendidikan dasar (dikdas) gratis. "Perda dikdas gratis yang dibuat pemerintah kabupaten/kota harus dipertegas," katanya.
Menurut dia, dalam perda tersebut harus dipertegas pula tentang pengelolaan dana operasional sekolah (BOS) termasuk sanksi bagi sekolah yang melanggarnya.
Ia mengatakan, perda pendidikan gratis di setiap kabupaten berbeda dengan daerah lain karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah.
"Pendidikan gratis bukan berarti semuanya dibebankan pada BOS karena dana BOS hanya sebatas pada biaya pendidikan," katanya.

Cukup 3 Pelajaran di Sekolah Dasar
Idealnya siswa Sekolah Dasar (SD) cukup hanya diberikan tiga mata pelajaran, sebab semakin banyak mata pelajaran yang diberikan hanya akan menambah beban dan membuat mereka bingung.
Pengamat Pendidikan Universitas Sumatera Utara (USU), Zulnaidi, di Medan, Sabtu (15/11), mengatakan, yang sangat dibutuhkan bagi anak didik ditingkat SD sebenarnya hanyalah tiga prinsip dasar pendidikan yakni pintar berhitung, pintar membaca, dan menulis. Dengan pintar membaca, apapun ilmu yang ingin diketahui bisa didapat dan jika memiliki pemikiran cemerlang siswa bisa menuangkannya dalam tulisan.
"Jadi di SD secara esensinya mata pelajaran itu tidak usah terlalu banyak agar siswa didik tidak menjadi stres dan kreativitasnya bisa lebih berkembang," katanya.
Selama ini pendidikan di Indonesia juga belum bisa mencapai tujuan seperti yang tercantum dalam UU tujuan pendidikan nasional. Pendidikan yang bermutu adalah yang mampu membawa sumber daya manusia kearah yang lebih unggul.
Sesuai undang-undang, pendidikan itu harus mampu mengantarkan para siswa menjadi warga negara yang memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap kemajuan bangsa, sehingga acuan kesuksesan pendidikan tidak hanya diukur dengan mampu menghasilkan uang banyak dan menjadi kaya.
Kalau pendidikan hanya sebatas mampu menghasilkan uang, itu merupakan karakter pendidikan yang paling jelek dan sebaiknya para pelaku pendidikan harus berusaha mengubah orientasi pendidikan yang sudah terlanjur salah selama ini.
"Bukan negara yang kaya yang bisa menjamin pendidikan bermutu, tapi pendidikan bermutu yang bisa menjadikan sebuah negara menjadi kaya. Jadi saat ini adalah bagaimana caranya kita semua termasuk pemerintah bisa mengendalikan pendidikan kearah yang lebih baik lagi," katanya.

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar
Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.
Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.
Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.
Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.
Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia
- Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.
Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.
5.151 Anak Tak Enyam Pendidikan Dasar
Kepala Dinas Pendidikan DIJ Prof Suwarsih Madya PhD mengakui, pendidikan di DIJ saat ini belum merata. Ada beberapa kantong keluarga miskin yang belum terjamah program wajib belajar, baik sembilan tahun maupun 12 tahun. Itu terbukti dengan masih adanya sekitar 5.151 anak miskin yang belum mengenyam pendidikan dasar.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Misalnya, mereka tidak memiliki beaya untuk sekolah dan budaya orang tua yang mendiskreditkan pendidikan. Keduanya harus diatasi dengan pendekatan berbeda,” ujar Suwarsih, menanggapi kritikan gubernur DIJ akan ketidakmerataan pendidikan di wilayahnya kemarin.Mereka yang tak bisa menikmati bangku sekolah karena miskin, menurut Suwarsih, bisa diatasi dengan beasiswa. Misalnya, melalui program retrieval. Hanya, kemungkinan pemberian beasiswa belum merata sehingga ada warga miskin yang tidak kebagian.
“Untuk itu, dalam waktu dekat saya akan meminta kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota untuk fokus terhadap kantong keluarga miskin. Warga miskin harus didekati dengan pendekatan khusus. Ubah paradigma berpikir yang mengatakan banyak lulusan sekolah yang juga menjadi pengangguran. Itu salah satu pemikiran warga miskin yang menafikan arti penting pendidikan,” tegas guru besar UNY ini.
Ditegaskan mantan diplomat ini, tingginya anak putus sekolah tidak hanya karena faktor kemiskinan. Tapi juga budaya. Ada keluarga kaya tapi tidak ingin anaknya sekolah. Sebab menurut mereka sekolah itu tidak penting.
“Yang penting ya bekerja dan cari uang yang banyak. Mereka tidak mengetahui bahwa pendidikan juga bermanfaat untuk membentuk pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, mandiri, dan beradab,” tambahnya.Angka partisipasi kasar (APK) SD/MI DIJ mencapai 109 persen. Tetapi masih ada sekitar 5.000 anak miskin yang tidak sekolah di SD. “Memang saatnya APK tidak menjadi satu-satunya acuan bahwa pendidikan telah merata. Perlu ada indikator yang lain,” tutur Suwarsih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar